Kriteria Seorang Guru/Pembina
Seorang Guru/Pembina mempunyai tugas yang mulia. Ia mengajarkan ilmu, mendidik, memerikan teladan dengan akhlak terpuji, juga mengawal selurus proses pada seluruh proses jenjang pendidikannya. Berikut ini adalah beberapa kriteria seorang
Pembina dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
a. Pemaaf dan Tenang
Pemaaf dan
tenang merupakan sifat paling mulia yang harus dimiliki oleh setiap Pembina,
karena sifat ini merupakan kebaikan di atas kebaikan. Kedua sifat ini sangat
dicintai ar-Rahman. Karena itu, seorang pembina harus menjadi seorang yang
pemaaf dan murah hati terhadap apapun yang dilakukan oleh seorang anak. Jadilah
pemaaf dan jangan memberikan sanksi kepada anak dalam keadaan marah.
Pergaulilah anak dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Terimalah apa
adanya, tidak menuntut yang paling ideal, luruskan tingkah lakunya, perbaikilah,
dan didiklah dengan baik.[1]
b. Lemah Lembut dan Menjauhi Sifat Kasar dalam Bermuamalah
Seorang Pembina
adalah seseorang yang lemah lembut. Seorang anak tidak akan lemah lembut
jikalau pembinanya berlaku kasar dalam ucapannya. Kelembutan adalah sifat yang
Allah sukai. Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad,
“dari Abu Hurairah, dia berkata, kami pernah bersama Rasulullah melaksanakan
shalat isya, dan ketika beliau sujud, al-Hasan dan al-Husain melompat ke atas
punggung beliau, maka ketika beliau bangkit dari sujud, beliau mengambil
keduanya, lalu keduanya diletakkan dengan pelan-pelan, dan bila beliau sujud,
keduanya kembali naik ke punggung beliau. Ketika beliau selesai shalat, tempat
keduanya dipisah, salah seorang mereka diletakkan pada suatu tempat dan yang
satunya di tempat yang lain, lalu aku datang kepada beliau, “Wahai Rasulullah,
bolehkah aku membawa keduanya kepada ibunya?” Beliau bersabda, “Jangan”. Tapi
ketika kilat bersinar, maka beliau bersabda, “Bawalah keduanya untuk menemui
ibunya”. Maka keduanya berjalan di tengah terangnya sinar kilat hingga masuk
rumah.[2]
c. Berhati Penyayang
Sifat penyayang
adalah sifat yang harus dimiliki oleh seorang pembina yang menginginkan
keberhasilan dalam proses pembinaannya. Imam al-Bazzar meriwayatkan dari Ibnu
Umar, dari Rasulullah, beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyayangi
orang yang tidak sayang kepada anaknya. Demi Dzat yang jiwaku ada di
Tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali orang yang penyayang.” Kami berkata,
“Wahai Rasulullah, kami semua adalah orang-orang yang penyayang.” Beliau
bersabda, “Seorang penyayang bukanlah orang yang menyayangi temannya semata,
tetapi menyayangi semua umat manusia.”[3]
d. Ketakwaan
Takwa merupakan
harta karun yang hakiki dan harta kekayaan yang harus dimiliki oleh setiap
Pembina untuk diwariskan kepada anaknya, diajarkan dan ditanamkan kepada
mereka, serta menjadi perhatian orang tua paling utama dan serius.[4]
Hendaklah orang tua atau Pembina memperhatikan hal itu, sehingga orang tua,
misal, jangan hanya bisa membuka rekening di berbagai bank, mengumpulkan
beberapa bidang tanahdan bangunan apartemen untuk diwariskan kepada anaknya,
namun lebih mulia dari itu semua adalah ketakwaan kepada Allah. Allah telah
memberikan kepada kita tanggungjawab untuk memelihara anak-anak kita dari api
neraka sebagaiman firman Allah dalam surat at-Tahrim ayat enam, yaitu, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan”.[5]
e. Selalu Berdo’a untuk Anak
Do’a sangat
memberi manfaat kepada anak dan menambah keteguhan dan keshalihannya. Rasulullah
mendorong kita agar selalu berdo’a untuk kebaikan anak, sebab do’a akan
menambah keberkahan pada anak. Dan beliau melarang kita mendo’akan keburukan
atas anak, sebagaimana sabda beliau dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
yaitu, “Janganlah kalia mendo’akan keburukan terhadap diri kalian, jangan
kalian mendo’akan keburukan terhadap anak kalian, dan janganlah kalian
mendo’akan keburukan terhadap harta kalian, jangan sampai kalian bertepatan
dengan saat yang bila Allah diminta suatu permintaan pada saat itu, maka Allah
akan mengabulkan permintaan kalian”.[6]
f. Menjauhi Sikap Marah
Betapa indahnya sikap pemaaf dan menahan amarah, betapa eloknya buah keduanya sehingga Nabi melarang seorang hakim memutuskan masalah dalam keadaan marah. Rasulullah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari yaitu, “Janganlah seorang hakim memutuskan hukum diantara dua orang sementara dia dalam keadaan marah”.
Abul Hasan
berkata, “Begitulah seharusnya sikap pendidik agar mampu menghasilkan anak
didik yang bagus dan handal, maka tidak boleh seorang pendidik memberik sanksi
kepada anak hanya karena ingin melampiaskan dendam dan amarah dalam dada. Dan
bila hal itu terjadi, berarti Anda telah menjatuhkan hukuman kepada putra-putri
kaum muslimin untuk memuaskan hati belaka dan demikian itu jelas tidak adil.
Adapun Ibnul Qayyim berkata bahwa sumber kerusakan moral berasal dari empat
hal; kebodohan, kezhaliman, syahwat, dan kemarahan. Sebab, marah akan
menimbulkan sikap sombong, dengki, hasad, permusuhan, dan kehinaan.[7]
g. Bersikap Adil dan Tidak Pilih Kasih
Adil dalam mendidik anak merupakan pilar utama pendidikan dalam Islam yang tidak boleh hilang karena langit dan bumi tegak hanya di atas keadailan. Tidak mungkin keadaan anak bisa baik, kecuali dengan sikap adil di antara mereka.[8] Hendaklah seorang pembina bersikap adil dan tidak mengutamakan satu dengan yang lainnya diantara anak-anaknya, baik dalam masalah materi seperti pemberian hadiah, maupun dalam masalah non materi seperti kasih sayang, perhatian, dan kecintaan. Sebab, pembagian perasaan cinta secara adil di antara mereka akan menciptakan kehidupan saling tolong-menolong serta perhatian kepada orang lain, sehingga anak akan tumbuh besar jauh dari seikap egois, tidak senang menyendiri, dan tidak merasa paling hebat di antara yang lain. Bahkan akan tumbuh besar dengan sikap suka mengutamakan orang lain dan tidak suka menciptakan pertengkaran di antara teman-teman dan saudaranya karena masalah yang sepele. Bersikap adil dan tidak pilih kasih merupakan akhlak mulia yang diperlukan dalam segala urusan.
[1] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak (Jakarta: Darul Haq, 2019), h. 135.
[2] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 137.
[3] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 137.
[4] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 140.
[5] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 140.
[6] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 142.
[7] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 150.
[8] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 150-151.