Metode Pembentukan Akhlak (2)
a. Keteladanan
Keteladanan mempunyai peranan penting dalam pembentukan/pembinaan akhlak islami terutama pada anak-anak. Sebab anak-anak suka meniru orang-orang yang mereka lihat. Semakin sering anak melihat orang yang berakhlak baik maka anak akan berakhlak baik, pun sebaliknya, semakin sering seorang anak melihat orang yang berakhlak buruk maka ia pun akan berakhlak buruk. Orang tua di rumah mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan akhlak anaknya dengan keteladanan akhlak yang baik karena mereka hidup bersama dalam kesehariannya.[1]
Keteladanan dalam pendidikan adalah metode yang paling sukses untuk mempersiapkan akhlak seorang anak.[2] Karena, seorang pendidik adalah model contoh terbaik dalam pandangan anak, dan akan menjadi panutan bagi anak. Disadari atau tidak, seorang anak akan mengikuti tingkah laku, akhlak pendidiknya. Teladan merupakan faktor yang sangat penting dalam memperbaiki atau merusak akhlak anak. Jika pendidiknya berakhlak baik, maka anak didiknya pun baik, tetapi jika pendidiknya tidak berakhlak baik, maka besar kemungkinan anak didiknya juga akan sama dengannya.
Teladan yang baik dan shalih termasuk sarana terpenting yang memiliki pengaruh jiwa, mudah berhasil dalam mendidik anak, dan menyiapkannya sebagai pribadi dan masyarakat.[3] Karena seorang pendidik adalah contoh paling tinggi bagi anak, baik teladannya dari orang tuanya atau gurunya, anak tetap mengikuti perilakunya, akhlaknya, baik disengaja ataupun tidak disengaja. Dengan adanya keteladanan, seorang anak akan belajar shalat dan menekuninya ketika melihat kedua orang tuanya tekun melaksanakannya di setiap waktunya. Hal ini juga berlaku dalam melakukan amalan ibadah yang lain.
Dengan adanya panutan dalam hidupnya, seorang anak akan tumbuh dengan sifat-sifat terpuji dan baik yang didapatnya dari keluarga, guru, ataupun pembinanya. Oleh karena itu seorang ayah, ibu, guru, atau Pembina, jikalau menginginkan anaknya, siswanya berakhlak yang baik, maka jadikanlah dirinya panutan dalam berakhlak yang baik. Karena seorang anak akan melakukan apa yang ia lihat dari panutannya, orang yang menjadi teladannya.
b. Kisah
Kisah memiliki peranan besar dalam memperkokoh ingatan anak dan kesadaran berpikir, dan menempati pusat cara berpikir yang mempengaruhi akal seorang anak.[4] Kisah termasuk metode pembentukan akhlak yang efektif, karena ia dapat mempengaruhi perasaan dengan kuat dan dapat menjadikan khayalan berpindah bersama kisah-kisah yang Nampak, segala sifatnya akan berubah dari sifat yang satu ke sifat yang lain.
Abdurrahman An-Nahlawy berpendapat bahwa metode kisah yang terdapat dalam al-Qur’an mempunyai sisi keistimewaan dalam proses pendidikan dan pembinaan manusia. Menurutnya, metode kisah dalam al-Qur’an berefek posisif pada perubahan sikap dan perbaikan niat atau motivasi seseorang. Adapun sebab-sebab dapat memperbaikinya adalah sebagai berikut:
1) Kisah dalam al-Qur’an memberikan pengaruh dan nasihat dari awal hingga akhir.
2) Jika membacanya, kisah dalam al-Qur’an ini secara tidak langsung melakukan interaksi atau komunikasi pada jiwa manusia.
3) Kisah dalam al-Qur’an bukanlah hal asing dalam kehidupan manusia, karena kehadiran kisah-kisah ini merupakan solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi.
4) Kisah dalam al-Qur’an ini juga membangkitkan rasa religiusitas manusia karena dapat mengantarkannya pada kepercayaan terhadap sang pencipta.
5) Kisah dalam al-Qur’an dapat berdialog dan menjawab logika-logika manusia secara ilmiah karena kisah-kisah tersebut melibatkan akal manusia untuk selalu berpikir.[5]
c. Memberi Pahala/Balasan dan Sanksi
Pemberian pahala dalam Islam pada mulanya bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran atas motivasi iman sehingga dapat memperbaharui niat dan pelaksanaannya. Sedangkan pemberian sanksi bertujuan agar manusia mematuhi berbagai aturan yang telah ditentukan, dan mengingatkannya kepada kebenaran yang ia langgar supaya dipatuhi, atau kepada dosa yang seseorang lakukan agar dihentikan.[6]
Islam sangat menganjurkan kepada orang tua dan para pendidik agar mendidik anak-anak mereka secara bertahap hingga bisa mendatangkan manfaat. Metode ini adalah cara terakhir yang dilakukan, saat sarana lain tidak bisa mencapai tujuan. Saat itu, boleh menggunakan metode penjatuhan sanksi. Pemberian sanksi boleh jadi menjadi obat manjur bagi pelurusan terhadap kekeliruan anak bila dilakukan dengan cara dan ukuran yang benar.[7] Hal ini bukan berarti seorang pendidik selalu berpikir cara memberi sanksi kepada anak, tetapi yang harus dipikirkan pertama kali adalah cara untuk mengarahkan anak dengan metode dan pengarahan yang baik serta mengajak mereka kepada nilai-nilai mulia dengan penuh kesabaran.
[1] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi, h. 89.
[2] Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad (Jakarta Selatan: Khatulistiwa Press, 2017), h. 364.
[3] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 253.
[4] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 260.
[5] Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), h. 125-126.
[6] Iman Abdul Mukmin Sa’aduddin, Meneladani Akhlak Nabi, h. 82.
[7] Al-Maghribi bin as-Sa’id al-Maghribi, Begini Seharusnya Mendidik Anak, h. 270.